Lansia Jepang

Lansia berumur 105 tahun.

Jepang merupakan salah satu negara yang mempunyai usia harapan hidup longevity tertinggi di dunia, yang berarti masyarakatnya panjang umur. Umur terkait dengan jatah hidup, di sisi lain ada hubungannya dengan taraf hidup, diet makanan, taraf kesehatan, jaminan hari tua, dan sebagainya. Jepang menempati urutan atas dalam ranking dunia. Simak di sini. Persentase jumlah penduduk Jepang jika dikategorikan berdasarkan usia, maka bentuknya adalah piramida terbalik. Artinya, jumlah lansia berada di tingkatan paling atas, berbanding terbalik dengan jumlah bayi/kelahiran (sangat kecil).

Bahkan diprediksi pada tahun 2050, jumlah kelahiran di Jepang mencapai titik terendah.

Saking banyaknya lansia di sini, mereka hidup seperti halnya orang-orang di usia produktif. Usia 80 tahun di Jepang, nampak seperti usia 60 tahun di negara lainnya.

Bekerja part time

Saking produktifnya mereka, bus kota dan taksi di sini nyaris semua dikemudikan oleh “kakek-kakek”. Selama di sini, baru sekali saya menjumpai bus kota yang dikemudikan oleh orang muda. Di usia yang bisa dikatakan sudah tua, mereka masih mampu bekerja dengan baik. Usia muda mereka digunakan untuk bekerja di kantor dan mengisi hari tua dengan kerja part time sebagai pengemudi. Sebenernya tabungan/asuransi hari tua sudah mencukupi, namun hal tersebut mereka gunakan untuk  mengisi waktu luang.

Belokan dan tikungan di jalan raya dekat rumah saya sangat tajam, namun para “kakek” tersebut mampu menguasi kemudi dengan sangat stabil dan teratur.

Pergi ke tempat hiburan/permainan

Lansia yang sudah sangat tua setiap pagi juga banyak yang mengisi waktunya dengan pergi ke mall untuk “bermain”. Jangan heran jika area permainan anak-anak (seperti timezone) dipenuhi oleh para lansia di pagi hingga siang hari. 😉 Oya, transportasi umum di sini gratis untuk anak-anak di bawah 6 tahun dan lansia di atas 80 tahun. Jadi di pagi hari, bus kota sering penuh oleh para lansia yang sedang jalan-jalan. 😀

Aktivitas lansia

Kegiatan untuk para lansia pun terkoordinasi dengan baik. Mereka kerap melakukan aktivitas bersama-sama seperti menjadi volunteer, memasak, acara kebudayaan, senam lansia, keterampilan, dan berbagai kesibukan untuk para lansia.

Hidup mandiri

Kebanyakan lansia hidup sendiri tanpa anak dan pasangan (jika pasangannya sudah meninggal). Jika pasangan masih hidup, maka mereka hidup berdua. Anak perempuan di Jepang, ketika sudah menikah maka nama marga-nya berubah mengikuti marga suaminya. Dengan demikian tidak banyak kewajiban yang harus dia tunaikan kepada orangtuanya (seperti kewajiban anak kepada orang tua dalam Islam). Anak laki-laki sulung yang menjadi penerus keluarga. Itu pun kebanyakan mereka tinggal terpisah dari orangtuanya (di luar kota).

Kondisi ini yang membuat para lansia Jepang menjadi sangat mandiri *memang dari kanak-kanak sudah dididik sangat mandiri*. 😀

Suatu ketika saya menunggu bus bersama seorang nenek, kami pun terlibat obrolan. Panjang cerita si nenek bertanya berapa umur saya. Saat itu saya berumur 23 tahun. Si nenek bilang: “heeee… muda sekali!” Saya pun bertanya berapa usia nenek, nenek menjawab: “kyu ju san sai (93 tahun) desu.” *sambil tersenyum. Beliau melanjutkan: “kita beda 70 tahun!” Saya: Wow! *melongo*.

Si nenek tersebut membawa belanjaannya sendiri di tangan kanan dan kiri, jalannya pun sangat cepat. Saya ketinggalan di belakangnya, sehingga bisa mengamati gaya berjalan si nenek. Padahal jalanan itu berupa tanjakan tinggi. Si nenek kuat sekali!! Sejak saat itu saya malu kalo ngeluh bawa barang berat sendirian. 😀 Masa’ kalah dengan nenek-nenek 93 tahun, yang masih sangat sehat! 😉

Ada kejadian lain, menuju rumah ada tanjakan yang bikin ngos-ngosan. Di depan saya ada nenek sudah sangat tua naik sepeda dan kuat mengayuh sepeda itu dengan sangat cepat. Padahal sepeda biasa yang ga ada gear-nya. Waaa… hebohlah saya! Lagi-lagi kalah dengan nenek-nenek. Malu deh kalo ga semangat ngayuh, liat si nenek jadi ikutan semangat! 😀

Baru-baru ini saya sering ke rumah sakit, di sana menjumpai banyak kejadian “wow” lainnya.

Seorang kakek keluar bersamaan dari tempat administrasi dan beliau masih menghirup dan membawa oxigen portable. Di hidungnya masih terpasang selang tersebut. Kami pun keluar beriringan. Sesampainya di parkiran sepeda, saya mengambil sepeda dan si kakek ternyata juga mengambil sepedanya. Kemudian beliau melepas selang oxigen dan meletakkan si tabung oxigen tersebut di keranjang sepeda. Saya pun melongo melihat kakek berlalu mengayuh sepedanya di depan saya.

Baru-baru ini, kejadiannya pun di rumah sakit. Rumah sakit ramai dengan lansia, mungkin karena musim dingin jadi banyak yang cek ke dokter maupun membutuhkan perawatan di sana. Saat melintas di pintu masuk dan tempat registrasi, tepat di depan saya ada seorang kakek yang sudah sangat tua mendorong  koper besar dan barang-barang lainnya menggunakan troli menuju ruang rawat inap. Beliau sendirian!! Jadi datang ke rumah sakit sendiri, membawa barang sendiri, dan rawat inap sendiri. Lagi-lagi saya melongo, trenyuh melihat kejadian itu.

Hal demikan merupakan kejadian yang biasa dijumpai di sini. Para lansia yang sudah sangat tua belanja ke supermarket, ke dokter, jalan-jalan, semua aktivitas tersebut mereka lakukan sendiri. Kadang juga bersama peer group mereka sesama lansia.

Oya, ada kejadian lainnya pernah saya ceritakan. Para lansia backpaker-an hiking naik gunung ke arah yamadera. Satu tim semua lansia beramai-ramai mendaki omoshiroyama ke yamadera. Stamina mereka sangat kuat!

Banyak sekali kejadian yang membuat melongo dan takjub!

Meninggal sendirian

Kejadian lainnya yang membuat semakin melongo adalah lansia yang ditemukan meninggal di dalam rumahnya, setelah beberapa hari barulah diketahui. Karena mereka tinggal seorang diri, sampai akhirnya meninggal pun tidak ada yang tahu. Barulah para tetangga menyadari ketika si nenek atau si kakek tidak kelihatan keluar rumah dalam beberapa hari. 😦

Dengan demikian, ada beberapa kemungkinan tingkat kelahiran bayi di Jepang sangat rendah:

  1. Tidak mau punya anak karena biaya pendidikan anak sangat mahal.
  2. Tidak mau punya anak karena ketika punya anak, seorang wanita harus menghentikan karirnya (keluar dari pekerjaan) karena harus fulltime merawat anak. Di sini tidak ada asisten rumah tangga.
  3. Tidak ada kewajiban merawat orangtuaa, apalagi jika punya anak perempuan yang marga-nya berubah ketika dia sudah menikah.
  4. Punya anak tidak ada jaminan akan dirawat di hari tua, karena tempat tinggal yang terpisah bahkan jauh. Di hari tua pun mereka tetap sendiri, apalagi jika pasangannya sudah meninggal.
Misalnya kejadian demikian terjadi di Indonesia:
Lansia jalan-jalan sendirian tanpa ada yang menemani, pasti orang yang melihat sudah ramai bertanya: “di mana anaknya, di mana cucunya?”
Untunglah kita diajarkan dan berkewajiban untuk berbakti kepada orangtua. 🙂
-RN-

4 thoughts on “Lansia Jepang

  1. Pingback: Negeri Dongeng: Negerinya Doraemon « Pojok Cerita

Leave a comment