Demi Anak: Serba Serbi Seorang Ibu

img_20160422_143310.jpg

Saya, seorang ibu rumah tangga dengan dua anak, tanpa jasa ART. Dalam keseharian menghadapi manusia (anak-anak) yang sangat dinamis perkembangannya. Kadang manis, kadang pula membuat suasana seperti lambaikan tangan ke kamera alias pengen teriak kenceng pliisss tolong saya sebentar. Bagi yang pernah merasakannya, pasti nyengir membaca kalimat di atas. 😀 Versi sholih, berdoa aja buuu dari pada teriak. 😀

Pernah suatu hari, kami bertiga (saya dan si dua bocah laki-laki) ditinggal ayahnya ke luar negeri. Tentu tidak dalam hitungan sehari-dua hari. Nah kalo ibu dan anak-anak sakit, dan bapaknya sedang tidak ada di rumah, yak! saat itu lambaikan tangan ke kamera. Saya benar-benar sulit untuk bicara, pusing, de el el kalo dilanjutin nanti bakal curhat seperti keluhan saat ke dokter. :)) Saat itu pula dua bocah nggak enak badan, rewel, dan seterusnya. 😦 Bahkan ditinggal untuk ke WC pun sulit. Sampai saya lupa makan siang di jam 5 sore, saking hebohnya hari-hari itu. Itulah mengapa pliiissss! kalo udah jadi ibu, dilarang sakit. *ngomong ke diri sendiri*

Sehari-hari, makan sekedar masuk perut tanpa mengunyahnya dengan benar, pikiran ke mana, tangan ke mana. Mandi dengan tenang, nggak terburu-buru, bisa shower-an air hangat tanpa mikir dipanggil-panggil anak, entah nangis ato minta sesuatu, itulah keadaan sederhana yang membuat perasaan saya menjadi bahagia. Simpel bukan? 🙂 Ini baru dua nak loh, yang anaknya lebih banyak dan tanpa dibantu siapapun mengasuhnya; pasti pernah merasakan seperti saya. Hayo ngaku?!? 😀

Momen saat si bayi lapar berat plus ngantuk, menyusu dengan lahap; kemudian dari dalam WC ada yang berteriak Bundaaa.... pupupnya sudaaaaahhh (minta cebok). Dududu… *ini terjadi setiap saat :)) Saat adik masih menyusu, si kakak ngantuk dan minta dipeluk. Tapi nggak kuat nunggu antrian dengan adiknya akhirnya tidur peluk kaki ibu, sampe kaki dan tangan ibu kesemutan nahan badan dua anak.

Seperti pagi ini, kami bertiga harus ke dokter anak karena ada janji jam 9 untuk vaksinasi. Kondisinya hujan deras, nggak ada taksi lewat (karena banyak orang pake), telpon taksi nada sibuk. Alhasil kami harus berjalan kaki menuju klinik tersebut.Harus gandeng si kakak yang suka sekali maen hujan, mengingatkan dia agar tidak lari, pegang payung, dan menyangga kepala si bayi dalam gendongan; menyusuri jalanan turunan yang licin. Paga itu rasanya melo banget saya! Gini amat ya naaakkkk…. :((Yuk mari berdoa semoga kita selalu sehat dan makin kuat!

Biasanya saya sangat suka jalan kaki, dengan suasana santai, dan sangat menikmati sepanjang perjalanan. Namun ada kalanya ketika saya kurang tidur, kelelahan, dan harus menjalankan kegiatan yang bertepatan dengan cuaca yang nggak bersahabat untuk jalan kaki, saat itulah saya merasa melo. 😦

Dulu, sekitar tiga tahun yang lalu (awal tahun 2013). Saat Eiji masih bayi, mendadak badannya meraaahhh. Saya bergegas ke dokter kulit, mendorong stroller Eiji di tengah badai salju. Sesampainya di klinik tersebut, ternyata tutup! Nggak mungkin balik ke rumah melihat kondisi Eiji yang menderita saat itu. Kenapa jalan kaki? karena nggak keburu untuk nunggu bus dan nggak ada taksi kosong. Saya melanjutkan berjalan kaki, menerjang salju menuju ke rumah sakit tempat Eiji dilahirkan. Di sana, saya ditolak! Alasannya, karena nggak bikin janji terlebih dulu. Ya, memang peraturan rumah sakit di sini harus membuat janji dan membawa surat rujukan dari klinik saat datang ke sana. Helloww…. melihat kondisi Eiji, nggak mungkin saya balik, cari dokter klinik, dll. Saat itu saya bilang coba lihat kondisi anak saya seperti ini, nggak mungkin saya balik untuk ini itu dan seterusnya…. *Eiji dalam kondisi merah seluruh badan, gatal, rewel, dll. Dari dokter klinik, obatnya nggak membuat dia lebih baik. Setelah agak memaksa, akhirnya Eiji diperbolehkan antri periksa. 😦 *sedih banget kalo ingat saat-saat itu. Saya sendirian, di rumah sakit Jepang yang super besar, dan kondisi anak yang demikian. Mau nangis?!? Nggak menyelesaikan masalah, apa dengan nangis Eiji bisa sembuh?? Itu pikiran saya.

Singkat cerita berdasar hasil pemeriksaan, hasilnya Eiji makanan tertentu. Kadar alerginya sangat tinggi *ngeri kalo ingat*. Alhamdulillah, kami mampu melewatinya. Ibu baru dengan bayi pertama, seorang diri di perantauan, menerjang badai salju, sendirian. Demi anak!

Nak.. kamu masih bayi, harus ditusuk jarum besar untuk diambil darahnya… kamu harus kuat ya! kata saya kepada Eiji.

Memang keadaan yang menuntut kita menjadi bisa, meski awalnya kita berpikir bahwa nggak akan bisa, tapi harus bisa!

Semua urusan anak, sejak dia sebesar biji di dalam kandungan sampai hari ini; saya bisa mengatakan saya adalah manusia yang paling tahu tentang anak-anak saya. Saya yang menjalani, saya yang melakukannya sendiri, baik anak pertama maupun kedua. Periksa ini itu, menghadapi dua kali meja operasi, vaksin ini itu, pergi ke kuyakusho, mencari sekolah, mencari hoikuen, dll saya lakukan sendiri. Saat anak baru satu, tidak menjadi masalah. Saat sudah dua, agak kerepotan ketika si kakak sedang diperiksa/diwawancara dan si adik harus tetap dijaga. Begitupun sebaliknya. Beruntung ketika ada teman yang longgar waktunya dan bisa menemani ke kuyakusho, maka saya bisa konsentrasi penuh pada urusan satu anak. Misalnya saat pemeriksaan kesehatan Eiji, Yoshi ada yang membantu menjaganya. Alhamdulillah.


Rumput tetangga selalu nampak lebih hijau dibanding rumput rumah sendiri. Itulah pandangan mata manusia.

Ada rumput keluarga lain yang nampak indah. Setiap kali istri pergi periksa apapun selalu diantar suami, rutin menemani periksa kandungan, menemani melahirkan, menemani setiap urusan ke kuyakusho, menemani saat anak divaksin, menemani ke klinik, dan selalu sempat menemani dimana pun. Itu rumput tetangga, bukan rumput sendiri. 😀

Kalo mau membanding-bandingkan dengan rumput tetangga, nampak lebih indah bukan?

Tapi, hei…. Lihat!!

Itu keluarga orang lain, bukan keluarga saya. Rumput rumah saya pasti nampak indah jika kami mensyukurinya.

Suami saya adalah suami saya, bukan suami tetangga. Saya adalah saya, bukan istri tetangga. Kesepakatan kami, semua waktu dan pekerjaan harus ditunaikan sebaik-baiknya. Saat dulu ketika suami masih menjadi mahasiswa dengan beasiswa, maupun saat ini ketika sudah bekerja dengan gaji. Baik ketika mahasiswa maupun sudah bekerja, sebisa mungkin nggak boleh ada korupsi waktu, apalagi beasiswa buta maupun gaji buta. Ketika harus menemani saya, maka ada jam kerja yang terpakai untuk saya. Kecuali sangat sangat darurat, itu harus mengganti di jam lain. Itulah sebabnya, suami saya sangat sibuk dan tidak bisa hadir di berbagai urusan saya dan anak-anak. Semoga ini menjadi bagian dari usaha kami agar terhindar dari korupsi waktu dan rizki yang tidak barokah. Na`udzubillah min dzalik. Jika saya ingat hal ini, maka saya akan sangat merasa bahwa rumput halaman saya sangat indahhh… Hijau di mana-mana! Alhamdulillah 🙂 Ganbatte bunda!! kata Eiji.

dsc_0799.jpg

dsc_0762.jpg

Semoga kami semua diberikan kesehatan, keberkahan rizki dan usia, serta anak-anak sholih penyejuk hati. Aamiin….

-RN-

Leave a comment