Membiasakan Anak Berani ke Dokter

Pergi ke dokter atau mengunjungi klinik biasanya dilakukan ketika ada bagian tubuh yang merasakan sakit. Sebenarnya, tidak harus demikian. Ketika tubuh sehat, pergi ke dokter untuk kepentingan lainnya juga diperlukan. Misalnya sekedar cek kesehatan, nggak harus nunggu sakit dulu. Namun kesadaran akan hal ini mungkin belum banyak dilakukan oleh sebagian besar masyarakat kita.

1.jpeg

Kerapkali kita dengar ketika orangtua menthok bernegosiasi dengan anaknya, suka mengatakan:

Kamu nggak boleh nakal, nanti disuntik dokter lho. -> emang dokter hobinya nyuntik? 😀

(saat vaksin) Maaf ya sayang, sakit sebentar. -> lhah, ngapain minta maaf… merasakan sakit bukan suatu kesalahan tho? 😀

Kamu nanti kalo nakal, suka permen, nanti dicabut giginya. -> serem amat kerjaan dokter gigi! suka nyabutin gigi. 😀

dll

Itulah ungkapan sehari-hari yang sering kita dengar turun-temurun disampaikan oleh orangtua kepada anaknya. Entah apa maksudnya, namun ucapan-ucapan itu pasti memberi efek psikologis bagi setiap anak dalam memberikan persepsinya kepada sosok `dokter`. 🙂

Bagi yang saat dewasa takut ke dokter, males periksa sampe sakit banget, takut jarum suntik, coba deh tanya ke diri sendiri… Dulu dapat cekokan omongon-omongan di atas nggak? 😛

Saya termasuk generasi yang mendengar hal tersebut. Baiklah, itu masa lalu! 😀 Saat ini, demi generasi yang lebih baik dan pentingnya memberikan pendidikan kesadaran akan kesehatan sejak dini kepada anak kita, kita nggak boleh melanjutkan eksistensi kalimat-kalimat ajaib tadi dalam otak anak-anak kita. Haram hukumnya mendidik anak dengan persepsi yang salah tentang sosok seorang dokter! 😀

Sebagai orangtua, sejak dini saya berusaha memberikan persepsi positif kepada Eiji tentang sosok dokter dan klinik kesehatan.

Ke klinik nggak harus dalam keadaan sakit. Misalnya klinik gigi.

Dokter bukan orang yang hobi nyuntik.

Ketemu dokter biar nanti tau kesehatan dan makin sehat.

dll

Hal tersebut yang saya ajarkan kepada Eiji sejak kecil. Pergi ke dokter anak untuk vaksin dan nggak sering ke sana tanpa keperluan mendesak agar meminimalkan risiko tertular sakit dari anak yang lain. Pergi ke klinik yang tidak berisiko terjadi penularan penyakit, bisa dijadikan alternatif untuk belajar. Misal, klinik dokter gigi. 😉

Membiasakan cek ke dokter gigi.

Saya membiasakan Eiji berkunjung ke klinik dokter gigi sejak dia berusia sekitar satu tahun. Saat itu kalo nggak salah giginya masih 3-4 biji. 😀 Sebenarnya nggak ada masalah kesehatan, namun sekedar kontrol dan mebiasakan Eiji akrab dengan tempat tersebut. Berlebihan?!? Nggak kok, hal tersebut akan mengajarkan kepada dia agar lebih sadar akan kesehatan giginya sejak kanak-kanak. Jangan sampai gigi bermasalah barulah ke dokter. 😦

Sejak saat itu Eiji rutin periksa ke dokter gigi tiap tiga bulan sekali. 🙂 Dimulai dari masih saya pangku saat duduk di kursi pemeriksaan, sampai dia bisa dan berani duduk sendiri. 😉

Berikut ini momen-momen saat Eiji kontrol kesehatan giginya:

2015-12-02_10.05.30.jpg

2015-12-02_09.59.27.jpg

2015-12-02_09.51.04.jpg

2015-12-02_09.41.43.jpg

Gambar-gambar saat dia masih kecil nggak sempat diabadikan karena nggak ada yang moto. 😀 Ketika dia sudah lebih besar, barulah saya bisa mengambil gambarnya. Maklum, ke dokter gigi selalu ditemani mama, hehehe… Kalo mama ga sempat moto, ya Eiji ga punya gambarnya! 😀

Alhamdulillah, karena terbiasa sejak kecil jadi Eiji nggak pernah ketakutan/nangis-nangis/rewel/dll saat dibawa ke dokter gigi, malah dia semangat banget! Duduk sendiri di kursi periksa dan mengikuti instruksi dokter/perawatnya. 🙂

Klinik dokter anak

Demikian halnya saat datang ke klinik dokter anak. Sebelum berangkat ke dokter anak, saya selalu mengatakan tujuan akan pergi ke mana. Itu terus saya lakukan sejak dia masih sangat kecil, saat dia belum bisa ngomong, bahkan masih bayi! 😀 Saya meyakini hal tersebut adalah bagian dari pendidikan untuknya, bahwa pergi ke klinik dokter bukan sesuatu yang menyeramkan. 🙂 Meski di sana ada momen suntik vaksin, dll.

Hasilnya, semakin besar Eiji hapal tempat-tempat yang biasa dia kunjungi. Selain itu, dia juga nggak nangis saat jarum suntik vaksin mengenai lengannya. 🙂 Dia paham bahwa itu demi kesehatannya dan sekedar cek kesehatan, dll. Sedikit cerita pernah saya tulis di sini. Alhamdulillah nggak sering datang ke sini kecuali untuk kunjungan jadwal vaksin. Semoga terus sehat jadi jarang ke dokter ini. 🙂

dsc_3270.jpg

Salah satu gambar saat di klinik dokter anak.

Proses saat divaksin nggak ada dokumentasinya, karena nggak ada yang moto. 😀 Mama pangku Eiji jadi nggak bisa ambil rekaman/gambarnya.

Demikian cerita keseharian saya dan Eiji dalam urusan ke dokter. Tujuannya, mengenalkan persepsi positif tentang dokter dan klinik, membiasakan anak sadar akan kesehatan sejak dini, mengubah paradigma turun-temurun yang salah tentang sosok dokter yang hobi nyuntik, dan mengantisipasi agar tidak telat ke dokter saat sakit gara-gara takut jarum suntik. 🙂

Jika kita sebagai orangtua masih malas/takut pergi ke dokter, nunggu sakit dulu baru ke sana, apapun alasannya ntah karena hasil didikan saat kecil, ntah karena males, ntah nanti takut ketahuan penyakitnya, ntah karena ga suka minum obat… Hey! Mari berubah! Ke dokter ga harus sedang dalam keadaan sakit, ga selalu harus minum obat, apalagi disuntik. Tujuannya juga mendapatkan edukasi tentang kesehatan. Misalnya dokter gigi, dengan rajin kontrol harapannya gigi kita terpantau dan nggak akan mengalami yang namanya sakit gigi baru datang ke sana. 😉 Ngajak anak ke dokter gigi menemani kita periksa rutin juga bagian dari pendidikan. Tuh lihat, mama ga takut kan…. 😉

Momen di klinik dokter gigi saya:

dsc_2496.jpg

dsc_2497.jpg

dsc_3169.jpg

Saat Eiji nongkrong manis menemani saya periksa rutin di dokter gigi.

 

Prinsip mencegah lebih baik dari mengobati itu benar adanya. Materi, waktu, dan kesiapan psikis yang kita alokasikan untuk proses pencegahan nggak akan sebanyak jika kita mengeluarkannya saat mengobati dalam kondisi sakit. Percayalah! 😉

-RN-

Leave a comment