Menyapih dengan Cinta

Hadits dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Kemudian Malaikat itu mengajakku melanjutkan perjalanan, tiba-tiba aku melihat beberapa wanita yang payudaranya dicabik-cabik ular yang ganas. Aku bertanya: ‘Kenapa mereka?’ Malaikat itu menjawab: ‘Mereka adalah para wanita yang tidak mau menyusui anak-anaknya (tanpa alasan syar’i). (HR. Ibnu Hibban dalam shahihnya 7491, Ibnu Khuzaimah 1986, dan Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Al-Jami’ush Shahih menyatakan: “Ini hadits shahih dari Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu.” Hadis ini juga dinilai shahih oleh Imam Al-Albani).

Menyapih dengan cinta atau bahasa populernya Weaning with Love (WWL) menjadi salah satu impian saya buat Eiji. Semua orang sudah paham bahwa ASI adalah makanan terbaik yang dibutuhkan oleh seorang bayi/anak. Namun, ikatan batin terindah yang terjalin saat menyusu/i hanya bisa dipahami oleh seorang anak dan ibunya. Awalnya dimulai dengan cinta, maka diusahakan diakhiri pun tetap penuh cinta. 🙂 Cerita ini sifatnya sangat individual. Setiap orang pasti punya kisah dan pengalamannya masing-masing saat menyapih anaknya.

Berawal dari kepergian sang ayah ke Indonesia pada 25 September 2014, saat itulah saya memutuskan untuk mengajak Eiji benar-benar menyelesaikan proses menyusu. Alhamdulillah, tepat pada hari itu Eiji menyatakan “dadah nenen” secara serius dengan kerelaan hatinya. Hal ini tidak didapatkan secara instan, dadakan, dan paksaan. Ini adalah sebuah proses yang sangat panjang bagi kami. Tepat pada usia 2 tahun 1 bulan 1 hari, kontrak menyusui berakhir dengan sangat indah. Penuh cinta dan minim trauma.

Proses memahamkan Eiji bahwa ada saatnya dia harus berhenti minum ASI dimulai sejak Eiji berusia 1 tahun 3 bulan. Waktu itu saya mengatakan kepadanya, “Sembilan bulan lagi ya, Eiji selesai nenennya.” Itu terus saya lakukan, berhitung mundur sampai Eiji memutuskan kapan dia siap. Awalnya dia cuek saja dengan kalimat itu, lama kelamaan dia makin paham. Ditambah lagi, dia sudah mengerti ada bayi-bayi kecil yang minum ASI (menyusu dari ibunya).

Eiji merasa dirinya sudah besar dan saya pun mengatakan, “Nenen itu buat dedek akachan, kalo kakak (Eiji) sudah besar jadi bisa minum sendiri, nggak nenen lagi.” Dan benar, dia memahami bahwa dia sudah bisa minum sendiri. Dari yang cuek, kemudian ketika diajak ngobrol soal nenen dia makin semangat nenennya, makin nggak mau lepas, sampai akhirnya dia rela berhenti nenen. Saat itu dia bisa mengatakan, “Dadah nenen…” Cute sekali! Alhamdulillah.

Setelah 24 jam pertama tanpa ASI, tidurnya tidak begitu nyenyak. Tengah malam terbangun, agak gelisah, lantas minta minum, lalu tidur lagi. Begitupun seterusnya sampai hari kelima. Setelah itu, ritme tidurnya menjadi sangat teratur. Tidur pulas, hanya sekali bangun untuk minum air putih. Makin ke sini makin nyenyak, pernah tanpa terbangun sampai pagi. Alhamdulillah… proses menyapih dengan cinta berhasil dicapai dan dilalui dengan baik.

Untuk mencapai hal itu, ada hal-hal penting berikut ini:

  1. Kesiapan fisik dan psikis keduanya (ibu dan anak) harus dalam kondisi sehat, bahagia, dan siap. Jika anak sudah ingin WWL tetapi ibunya belum rela, ataupun ibunya ingin menyapih tetapi anak belum siap, itu akan menyiksa salah satu pihak. Jika anak dipisahkan dari ibunya agar “lupa” dengan ASI, khawatir hasilnya bisa menimbulkan kesedihan dan/atau trauma buat si anak. Bagaimanapun ibu adalah sosok yang dia butuhkan untuk mengobati kesedihannya, apalagi saat dia harus melewati masa-masa berhenti dari menyusu. Memisahkan anak dengan ibu bukan pilihan ideal bagi kami. Memberi rasa baru (pedas, pahit, warna merah, hitam, biru, dll) dianggap bisa mempercepat penyapihan. Namun, itu berjalan tanpa kesiapan anak dan kerelaan dirinya sendiri. As a matter of fact, sebulan sebelum usia 2 tahun, saya pernah mencoba sekitar 3x memberi rasa pahit, tetapi tidak mempan. ASI dan proses menyusui tetap berjalan lancar.
  2. Dibutuhkan kesabaran dua belah pihak. Bukan cuma anak, melainkan juga sang ibu. Saat ASI sudah tidak diberikan, padahal produksi masih banyak, itupun rasanya sakit. Ada godaan ingin memberikan kembali, tetapi harus bersabar untuk tidak memberikan. Jika dilakukan, anak akan menganggap “bye bye nenen” artinya boleh nenen lagi. WWL akan gagal karena kita tidak konsisten.
  3. Menghadapi anak gelisah harus dengan penuh kesabaran dan ekstra tenaga bangun di malam hari. Jika sebelumnya anak terbangun, langsung diberi ASI kemudian tidur kembali, sekarang justru harus berusaha menidurkan anak dengan cara lain.
  4. Peran ayah juga penting. Namun, qadarullah saat Eiji menyapih dirinya sendiri, ayahnya sedang berada di luar negeri sampai beberapa hari. Jadi saat ayahnya sudah di rumah, proses WWL telah selesai dilewati.
  5. Untuk proses menidurkan anak dengan cara lain, Eiji biasa tidur dengan diusap punggungnya dan minta dibacakan ayat-ayat Qur’an. Saat proses disapih kemarin secara khusus dia juga meminta dibacakan takbiran (kebetulan bertepatan dengan tanggal 1 Dzulhijjah). Itu masih berlangsung beberapa kali sampai sekarang. Takbiran sebelum bobok. 😀
  6. Banyak berdoa. Memohon kepada Allah agar proses penyapihan diberikan kemudahan dan kelancaran.

Alhamdulillah semua berjalan dengan lancar, Allah memberi kemudahan, kontrak menyusui selama dua tahun sudah berhasil diselesaikan dengan bonus 1 bulan 1 hari. 🙂

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (terjemah QS. Al-Baqarah: 233).

Menyusui, kemudian mengakhiri proses menyusui harus dengan kerelaan dari dua pihak. Agar di kemudian hari tidak ada yang menyesal mengapa tidak memberi ASI atau pun mengapa tidak diberi ASI, pun mengapa dipaksa berhenti minum ASI.

Salam penuh cinta.

-RN-

One thought on “Menyapih dengan Cinta

Leave a comment