Perjuangan itu Bernama Melahirkan: bagian 2

2016-01-07_15.17.15.jpg

Pengalaman melahirkan merupakan pengalaman yang sangat individual, sangat berbeda, dan memiliki keunikan tersendiri bagi setiap orang, maupun pada satu orang yang mengalami proses ini lebih dari satu kali. 🙂 Cerita sebelumnya bisa dibaca di sini.

Senin, 4 Januari 2016

Inilah hari pertama masuk setelah libur nasional (sampai tanggal 3) di Jepang. Waktu yang saya tunggu telah tiba. Saya akan segera mengakhiri proses kehamilan yang telah saya jalani selama lebih dari 38 minggu. 🙂

Kami (saya, suami, dan Eiji) meninggalkan rumah sekitar pukul 10 pagi, menuju ke arah Tohoku daigaku byoin (rumah sakit tempat melahirkan). Atas permintaan saya, kami berjalan kaki ke sana. Pikir saya, inilah kesempatan jalan kaki sepuasnya sebelum nanti akan banyak di rumah setelah di bayi lahir. Lagipula sedang musim dingin di sini, tentu akan sulit keluar jika banyak salju. Janjian dengan rumah sakit jam 2 sore. Jadi, masih ada banyak waktu untuk kami makan siang bersama di restoran dekat byoin (RS). Kesempatan untuk meminum kopi favorit saya! 😀

dsc_3350.jpg

Eiji dan ayahnya menuju arah restoran dekat byoin.

Tepat pukul dua, kami sudah berada di lantai 6 Tohoku University Hospital. Saya menekan bel intercom, kemudian menyebutkan bahwa hari ini adalah jadwal saya rawat inap di sana. Petugas lantas membukakan pintu secara otomatis. Sesampainya di sana, saya menyerahkan beberapa dokumen yang diperlukan antara lain: form rawat inap, buku boshiteco (buku ibu dan anak), kartu hokken (Asuransi), dan suami memasukkan dokumen ke nyuin senta di lantai satu.

dsc_3647.jpg

Setelah urusan dokumen selesai, perawat menghampiri saya dan mengukur berat badan. Selanjutnya masuk ruangan pemeriksaan untuk cek tekanan darah dan CTG. Ruangan ini mengingatkan saya saat kontraksi 3 tahun yang lalu, menunggu kelahiran Eiji. 🙂

Dokter tiba bersama seorang residen obgyn. Setelah memperkenalkan diri, dokter menjelaskan prosedur yang akan saya jalani pada saat melahirkan besok. Semua disampaikan dengan jelas, kalo dulu caesar darurat jadi saya tidak mendapatkan penjelasan seperti ini sebelumnya. 😀 Dilanjutkan dengan pemeriksaan USG, si bayi tidak mau menunjukkan mukanya, cukup gambar kuping yang dia tunjukkan ke kami. 😀 Beratnya sekitar 3200 gram. Alhamdulillah.

img_20160104_160620.jpg

Foto USG terakhir uk 38w3d, 3200gr.

Bersama perawat, saya masuk ke kamar inap yang akan saya tempati nanti malam dan selama proses perawatan pasca melahirkan. Ruangan ini berada tepat di sebelah ruangan yang saya pakai saat melahirkan Eiji dulu. Kalau dulu berada di kamar 651, sekarang di kamar 650, tepat di depan nurse station.

dsc_3374.jpg

nama saya sudah terpasang di bed kosong.

img_20160104_160807.jpg

Seperti ini kamar yang saya tempati.

Setelah berganti baju mengenakan piyama, prosedur pertama dimulai. Perawat mulai menjalankan tugasnya, memasang barcode dan menyuntikkan jarum infus di tangan kiri saya.

dsc_3375.jpg

 

dsc_3407.jpg

Jadwal diberikan. Tanggal 5 Januari 2016 akan dilakukan operasi pada pukul 14.30. Puasa makan dilakukan mulai pukul 00.00 malam ini, pukul 3 dini hari mulai puasa makan-minum. Pukul 6 pagi jadwal mandi dan dilanjutkkan ke ruang monitring untuk cek CTG. Saya terakhir makan pada jam 18.00 malam di hari Senin.

dsc_3377.jpg

Selasa, 5 Januari 2016

Sesuai jadwal, saya bergegas mandi dan ke ruang monitoring. Perawat sudah menunggu di sana. Alhamdulillah hasilnya Oke. Mulai saat itu tidak ada sarapan, makan siang, dan minum apapun.

Saat pukul 2 siang, ternyata jadwal operasi diundur. 😦 Jadi, puasa saya semakin panjang. Puasa minum yang terasa sangat berat, sejak pukul 3 pagi. Pukul 4.30 barulah perawat membantu saya untuk berganti dengan baju operasi. Dokter kandungan datang, bersama perawat membawa saya ke lantai tiga, tempat di mana operasi akan dilakukan. Eiji dan ayahnya menunggu di depan lift, terbaring di atas bed menuju lantai 3, saya sempat dadah ke Eiji.

Wajah Eiji berkaca-kaca dan sempat saya dengar dia bertanya ke ayahnya: `itu mamanya siapa, ayah?` `itu mama Eiji`. Muka melo dan menahan air mata terlihat di wajahnya, mungkin dia berpikir mama akan dibawa ke mana. 🙂

Saya sempat melihat jam, tepat pukul 5.00 prosedur operasi di lakukan. Seluruh orang di ruangan itu sangat sibuk, dokter anestesi mulai bekerja. Jarum suntik berisi obat bius disuntikkan melalui tulang belakang. Rasanya sangat sakit! Beberapa kali ternyata tidak tepat pada tempat saya dituju. Saat disuntik, rasa seperti tersengat aliran listrik terasa di kaki kiri saya, disuntik di bagian lain maka sengatan itu berpindah di kanan. Sakit sekali! Berkali-kali disuntikkan di beberapa titik tulang belakang namun tak kunjung berhasil. Sampai berganti orang yang menyuntiknya. 😦

Dalam ruangan operasi yang sangat dingin, badan saya kepanasan. Keringat mengucur deras sekali. Proses bius hampir satu jam, dokter kandungan terlihat mulai tegang dan mengamati keadaan saya. Ya, saya kesakitan! Rasa mual, gerah bercampur menjadi satu. Pusing dan ingin muntah. 😦 Ini yang tidak saya rasakan saat melahirkan Eiji dulu. Dulu saya kesakitan saat kontraksi bukaan 9 dan dokter bius menyuntik di tempat yang sangat tepat. Namun saat ini, saya tidak kesakitan karena kontraksi melainkan kesakitan ditusuk jarum bius berkali-kali dan di banyak tempat, juga rasa sengatan ke syaraf kaki sangat sakit.

Saya pasrahkan kepada Allah  dengan semua yang terjadi, proses bius yang sangat lama dan menyakitkan, hampir memakan waktu dua jam! Saya terus berdoa semoga seluruh tim operasi ini dibimbing oleh Allah dalam menjalankan tugasnya masing-masing. Alhamdulillah, tak lama dari itu titik yang dicari telah berhasil dan bius mulai bekerja. Saat saya mengatakan ingin muntah, salah satu dokter bius yang berada di atas kepala saya bergegas mengambilkan wadah untuk tempat saya muntah. Hasilnya, tidak berhasil muntah. Karena telah puasa makan dan minum dalam waktu yang sangat lama. Mungkin karena panik melihat kondisi saya, wadah besi itu sampai terjatuh dan berbunyi `pyaaang` di ruang operasi. Dokter itu pula yang terus menanyakan kondisi saya.

Daijoubu desuka? Doko shibiri? chosi ga dou desuka?

(apanya yang daijoubu) —> Saya jawab semuanya: waruii…. sakit, mual, ingin muntah, pusing, ngantuk, perut ke bawah udah shibiriiii. 😦

Dokter kandungan mulai bekerja, proses kelahiran sangat cepat. Tepat pukul 7.00 malam hari, si bayi lahir. Alhamdulillah! Dia diangkat dan diperlihatkan kepada saya.

Okasan… omedetou! Bayi laki-laki telah lahir.

Si bayi menangis kencang. Saya telah kehabisan tenaga, hanya menyentuh tangannya, tak sempat memanggil namanya. Alhamdulillah…

Melalui pantulan lampu operasi, saya bisa melihat bagaimana perut dibuka dan plasenta diambil, kemudian dijahit lagi. Ngeri? Nggak, seperti itu perjuangan melahirkan seorang bayi. Bongkar jahitan lama, membuka tujuh lapisan perut, kemudian menjahit kembali. Alhamdulillah proses lahiran sangat lancar dan cepat. Pukul 8 malam semua usai, saya akan dibawa ke ruang perawatan. Semuanya mengatkan: Otsukaresama deshitaaa….

Alhamdulillahirobbil `alamiiin… Proses operasi berlangsung sejak pukul 5 sore sampai 8 malam, jadi total 3 jam.

Salah satu dokter bius yang lain menanyakan kepada saya, bagaimana proses bius tiga tahun lalu? Saya jawab: sangat cepat dan tidak sakit. Dia tanya, ingat nama dokternya. Saya jawab: nggak. Laki-laki ato perempuan? Laki-laki, sudah tua, dan sangat cepat.

Begitulah proses dulu saat melahirkan Eiji, saya tidak kesakitan sama sekali selama penyuntikkan obat bius. Namun berbeda dengan bius kali ini, sangat lama dan menyakitkan. 😦

Alhamdulillah, saya telah melahirkan dengan selamatdan sudah berada di ruang perawatan. Beberapa saat kemudian, dokter kandungan yang mengoperasi saya datang melihat keadaan saya di ruang perawatan. Beliau mengatakan permohonan maaf atas proses yang lama tadi. Beberapa kali mengatakan: `gomen nasai` (sambil menunduk). Saya sangat berterima kasih telah dibantu melahirkan. Momen itu sangat membekas di hati saya, di saat saya kesakitan pasca operasi dan kesakitan dalam proses pembiusan, dokter kandungan saya menyempatkan datang ke ruangan dan meminta maaf. 😦 *mengharukan banget*

Sekitar pukul 11 malam, barulah saya diperbolehkan minum. Puasa minum sejak Selasa jam 3 pagi sampai Selasa jam 11 malam. Makan baru boleh dilakukan hari Rabu jam 12 siang. Puasa yang sangat panjang! Terakhir makan sejak Senin jam 6 sore sampai Rabu jam 12 siang. 😦

Kemudian perawat mengantarkan si bayi ke kamar untuk mendapatkan ASI. ASI hanya keluar sedikit karena saya tidak makan dan minum dalam waktu lama.

Akachan okii nee… katanya. Saya tanya berapa beratnya? san sen gohyaku niju ni guramu. Haa?? 3522gram… Saya juga kaget!! 😀 panjangnya 51.5cm

Dia bilang, sudah dicek diabetes dan hasilnya negatif. Alhamdulillah…

Jadi bayi saya tergolong besar dan langsung dilakukan tes diabetes kepadanya. Alhamdulillah dia besar bukan karena diabetes gestasional, tapi karena ngemil selama di perut. hihihi… 🙂

img_20160106_152534.jpg

Yoshi Ayman Nugraha: 3522gr, 51.5cm, usia kehamilan 38w4d. Lahir saat musim dingin di Sendai.

Hasil USG terakhir beratnya 3200gram, ternyata aslinya 3522gr (selisih 300 gram). Kenaikan BB saya selama hamil sekitar 6 kg. Jadi, Yoshi menyerap semua nutrisi! 😀 Alhamdulillah…

Malam itu, pasca operasi saya masih bisa ber-haha hihi ceting dengan teman-teman di WA. *belum ngerasain drama* Namun hal ini tidak terjadi pada hari berikutnya. 🙂

————————————————————

Rabu, 6 Januari 2016

Saatnya belajar jalan dan duduk di toilet. Pagi hari saya sudah semangat! Dibantu seorang perawat, saya mencoba berdiri. Hasilnya, saya seperti tidak menapak tanah, badan oleng (tapi tidak pusing), ternyata kaki saya masih mati rasa! Belajar jalan pun ditunda, saya kembali terbaring di tempat tidur.

Setelah perawat berkonsultasi dengan dokter, ternyata kaki yang mati rasa disebabkan oleh efek dari pain killer yang dimasukkan lewat punggung (langsung ke titik syaraf). Jika ingin segera normal, maka pain killer harus dilepas!

dsc_3454.jpg

Ini pain killer yang langsung disuntikkan ke syaraf tulang belakang. Rasanya sepeti buah simalakama. Jika saya gunakan, kaki saya mati rasa. Jika dilepas, saya bisa normal namun luka operasi akan terasa sangat sakit.

Saya memutuskan untuk dilepas, demi bisa berjalan. Benar saja, pasca itu dihentikan maka berangsung-angsur kaki saya mulai bisa bergerak/tidak mati rasa. Luka di perut terasa sangat sakit, sakit sekali. Sakitnya lebih dari saat operasi pertama. :(( Saya hanya mengkonsumsi obat via oral. Aktivitas ceting, sms, apalagi nge-charge hp sama sekali tidak bisa saya lakukan. `Drama` perjuangan mulai terjadi. Hanya bisa terbaring di tempat tidur, lapar (puasa yang lama sekali), menahan sakit, dan berdoa.

Hari itu benar-benar saya hanya di kamar, kesakitan, dan kesulitan untuk bangun, apalagi menyusui sambil duduk. Malam harinya, luka di perut terasa seperti disayat, sangat nyeri. Tiap kali si bayi menghisap ASI, kontraksi di rahim terasa sangat kuat dibarengi sakit luka operasi tanpa pain killer. Inilah perjuangan, tetap semangat Mama!! kata saya dalam hati. Semoga semua sakit ini menghapuskan semua dosa saya selama ini.

Melihat kondisi saya, perawat menawarkan apakah si bayi akan diberi sufor agar saya bisa beristirahat dan tidur? Saya memilih untuk tetap berusaha memberikan ASI, dengan segala yang terjadi. Alhamdulillah, proses ini bisa terlewati.

Kamis, 7 Januari 2016

Pukul 9 pagi hari, perawat datang untuk membantu latihan. Saya sangat semangat untuk bisa jalan hari ini, alhamdulillah saya bisa berjalan dan duduk di toilet sendiri. 🙂 Saya mulai jalan ke baby room dan ke kamar, meski belum bisa jalan tegak. Yoshi tidur bersama saya, namun saya masih kesulitan tiap kali harus bangun, mengangkat dia dari box untuk menyusui atau mengganti popok. Perawat sangat membantu hal ini,  memberikan Yoshi ke pangkuan saya setiap akan menyusu.

dsc_3511.jpg

 

dsc_3459.jpg

Robbi habli minassholihin.

 

dsc_3465.jpg

Tidur nyenyak!

 

Alhamdulillah, kondisi saya berangsur membaik dan bahagia. Perjuangan melahirkan sangat membekas bagi saya. Setelah lebih dari dua bulan, barulah saya berani menuliskan di sini. Setelah rasa sakit dan ingatan saat proses pembiusan sudah tidak terlalu saya rasakan sakitnya. 🙂

*Percakapan dengan tim medis disampaikan dalam bahasa Jepang dan di blog ini diterjemahkan lepas dalam bahasa Indonesia.

-RN-

One thought on “Perjuangan itu Bernama Melahirkan: bagian 2

Leave a comment