Dedikasi Ibu Jepang: bagian 2

1

Ngasuh anak sekaligus dapat kenalan baru, plus bonus ilmu baru adalah hal-hal yang kerap saya dapatkan selama menjadi ibu rumah tangga. Menemani Eiji maen di koen atau jidoukan, kerapkali saya pun mendapat kenalan baru ibu-ibu Jepang. Berawal dari ketemu saat sama-sama menemani anak maen, kemudian ngobrol, kenalan, tukar nomor hp, sampai saling berbagi berbagai hal. Berikut ini salah satu topik yang kami bicarakan, sebenarnya nggak jauh beda dengan tulisan yang pernah saya ceritakan di sini tentang dedikasi ibu Jepang beberapa tahun lalu.

Kami memiliki beberapa kesamaan, baru memiliki seorang anak, dengan jenis kelamin yang sama, dan umur anak yang sebaya. Setelah ngobrol seputar anak, ternyata tempat tinggal kami masih satu wilayah. Saya di Kunimi 3 dan ia di Kunimi 6. Pertemuan yang tidak sengaja, namun terasa sangat akrab. 🙂 Berikut ini cerita tentangnya:

Sebelum memutuskan menikah, ia adalah seorang wanita karir dengan karir yang mapan di sebuah perusahaan di Tokyo. Di perusahaan itu hanya ada dua pegawai wanita. Dia dan seorang lagi yang telah ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Suatu ketika dia tersadar bahwa ia ingin memiliki anak, mengingat usia dan sebagainya. Awalnya berat mengutarakan niat untuk berhenti bekerja dan berpisah dari teman sekaligus sahabatnya tersebut, namun itu harus dia lakukan. Saat menceritakan hal ini kepada saya, kedua matanya nampak berkaca-kaca. Ia pun mendapat nasihat dari sang sahabat (sebut saja `kakak`). Saat itu usai kakak hampir menginjak 60 tahun.

Singkat cerita, sang kakak mengatakan padanya:

Sebaiknya kamu berhenti sekarang jika kamu ingin membangun keluarga dan ingin punya anak. Jangan seperti saya, saya terus bekerja sampai saat ini, dan saya sendirian. Saya tidak ada kesempatan lagi untuk memiliki anak. -> Kurang lebih demikian ucapan sang kakak.

Keduanya pun berpelukan karena harus berpisah. Lagi, ibu Jepang ini nampak berkaca-kaca.

Keputusan sudah bulat, akhirnya ia berhenti bekerja kemudian menikah, pindah ke Sendai dan memiliki anak. Saat ini ia menjadi ibu rumah tangga. Bagi wanita, merupakan pilihan yang sulit di mana karir yang sudah mapan, mandiri, namun di satu sisi ingin membangun sebuah keluarga komplit. Oya, kondisi di Jepang berbeda dengan di Indonesia. Jika di Indonesia seorang wanita bisa lebih mudah/terbantu saat berperan ganda sebagai wanita karir sekaligus ngurus rumah tangga, namun tidak demikian di Jepang. Di Indonesia ada fasilitas asisten rumah tangga yang bisa tinggal 24 jam, misalnya. Sedangkan di sini tidak ada. Masih banyak hal lainnya yang tidak memungkinkan bagi wanita Jepang yang tetap meneruskan karirnya penuh waktu jika ingin memiliki anak secara ideal. Akhirnya mayoritas wanita Jepang memutuskan untuk terus berkarir dan tidak menikah. Itulah salah satu alasan mengapa angka kelahiran di Jepang semakin menurun. Namun tentu masih ada yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga dengan penuh dedikasi. Bukan hanya seorang atau dua orang saja, beberapa orang yang saya temui memiliki cerita yang hampir mirip. Memutuskan berhenti bekerja untuk total mengurus keluarganya. Ada pula yang bekerja paruh waktu sehingga masih sempat mengurus anak-anaknya. Atau pun bekerja penuh waktu dengan menitipkan anak ke hoikuen atau jidoukan.

Kemudian dia melanjutkan:

Saya masih tetap berkomunikasi dengan kakak. Saya sering mengirim foto si anak, dia mengatakan `setelah punya anak, kamu sekarang kelihatan lebih muda`, Ya… karena saya bahagia, katanya. 🙂 Dia sangat menikmati perannya sebagai ibu rumah tangga. Kelelahan dengan urusan rumah tangga namun membuatnya bahagia. Mengasuh, bermain bersama anak, menggendong, dan menghabiskan waktunya dengan sang anak. Aktivitas yang sangat berbeda dengan perannya dulu, pagi hingga malam terus bekerja.

Saat menceritakan hal ini wajahnya nampak berbinar dan merasa puas dengan apa yang ia dapatkan saat ini. Keputusan untuk meninggalkan karir memberikan kebahagian besar dalam hidupnya.

Bagi ibu Jepang, menjadi ibu rumah tangga dan memiliki anak adalah sebuah pilihan besar. Berlaku juga bagi seluruh wanita di dunia. Ingin menjadi ibu rumah tangga, berkarir total, atau menjalankan keduanya; kembali pada pilihan masing-masing. Tentu saja setiap pilihan memiliki tanggung jawab, kelelahan, dan kebahagiaan yang berbeda. Belajar dari kisah para ibu Jepang; pilihlah dengan sadar setiap keputusan dalam hidup dan lakukanlah dengan penuh dedikasi. 🙂

 -RN-

2 thoughts on “Dedikasi Ibu Jepang: bagian 2

Leave a comment